Senin, 27 Juni 2011

Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View (Muhammad Abdul Rauf)


Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View
(Muhammad Abdul Rauf)


A. Pendahuluan
Studi Islam (Islamic studies) merupakan salah satu studi yang mendapat perhatian luas di kalangan ilmuwan, baik Barat maupun Timur. Jika ditelusuri secara mendalam, dapat diketahui bahwa minat studi Islam mulai marak sejak pertengahan kedua abad ke-19. Studi Islam kini banyak yang menjadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Ini berarti studi itu mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan. Untuk mendukung asumsi tersebut, di Barat telah banyak universitas-universitas yang membuka fakultas atau departemen yang khusus membicarakan studi Islam sekaligus dengan buku-buku dan jurnal-jurnal yang diterbitkannya.
Problem utama yang dihadapi umat Islam ketika mengkaji Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi, namun lebih pada cara-cara penyajian terhadap materi yang dikuasai. Jadi masalah metodologi. Harun Nasution pernah mengatakan bahwa kelemahan di kalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komprehensif adalah tidak menguasai metodologi.
Metodologi (science of method) dapat diartikan sebagai suatu pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Dalam dua dekade terakhir, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang Islamic studies dan perhatian akan problem-problem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Berbagai pendekatan (muatan metodologi) yang digunakan para Islamis dan sarjana Barat dalam mendekati materi-materi Islam; mulai dari pendekatan terhadap teks kitab suci (filologi) dan Nabi, ritual Islam, Islam dan masyarakat, hingga pendekatan interpretasi dan problem insider dan outsider.[1]
Para Islamisis yang berdiri dalam tradisi orientalisme, dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapatkan serangan karena provinsialisme akademik dan distorsi citra tentang masyarakat Islam yang mereka ciptakan. Posisi orang yang ingin bertanya “bagaimana” mempelajari Islam sebagai agama, dibingungkan oleh kecenderungan pada kompartementalisasi di dalam pendidikan tinggi.
Problem outsider dan insider juga menjadi bahasa akademik tentang agama. Siapa yang paling kompeten untuk bicara pada orang lain mengenai Islam, sarjana muslim sendiri (insider) atau sarjana Barat dan para orientalis (outsider)?

B. Problem insider dan outsider.
Dalam insider dan outsider,menyunting dari esai Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View. Kajian insider dan outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. Insider adalah para pengkaji Islam dari kalangan muslim sendiri. Sementara outsider adalah sebutan untuk para pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam bentuk analisis-analisis dengan metodologi tertentu.
Yang dipersoalkan adalah apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar obyektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider? Abdul-Rauf menolak validitas para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies) yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa[2].
Dengan demikian, studi Islam dalam optik outsider penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para pengkaji outsider.
Rauf banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy).[3]
Abdul Rauf sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
Pada awal tulisannya, Abdul Rauf mengulas tentang bagaimana usaha Barat untuk mengkoloni Islam melalui pendidikan, disitu ia memberikan contoh kasus modernisasi-sekularisasi yang akan dilakukan Barat kepada Univeritas Al-Azhar pada tahun 1961.
 Menurutnya jika reformasi tersebut terjadi, maka keilmuan Islam tradisional yang ‘otentik’ sedikit demi sedikit akan mengecil pengaruhnya. Ditambah lagi dengan adanya gelombang teknologi informasi yang meruntuhkan sekat-sekat kebudayaan dan bangsa, maka tidak heran jika nanti umat Islam akan ‘berwajah dan berjiwa’ Barat dan meninggalkan ‘wajah dan jiwa’-nya sendiri, yakni Islam. Untungnya, ketika itu umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun tidak jadi dilakukan. Meski demikian, Barat berhasil mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.[4]
 Dengan ini maka ketakutan-ketakutan sebagaimana di atas akhirnya terjadi pula. Pendidikan Islam tradisional ‘otentik’ semakin kecil perannya, dan pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara Islam (bukan Negara Islam namun Negara yang rakyatnya mayoritas Islam) Lembaga pendidikan Islam dipersempit perannya, yakni hanya sebagai lembaga Pendidikan agama. Pada masa inilah (abad pertengahan) dalam tubuh Islam terjadi dikotomi antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya tidak pernah terbesit dalam benak Islam, sebab menurut Islam semua ilmu adalah Islam atau Ilahiyah.
Dengan adanya dikotomi keilmuan tersebut, keilmuan Islam untuk Timur (Islam) dan keilmuan non-Islam untuk Barat (Amerika dan sebagian Eropa), maka kemudian memunculkan metode dan pendekatan yang berbeda antara sarjana Barat dan sarjana Muslim dalam mengkaji Islam. Barat cenderung menggunakan metode ilmiah dan pendekatan histories dan Sarjana Muslim cenderung teologis. Studi Islam Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan colonial untuk belajar dan memahami masyarakat yang mereka kuasai, sementara Islam didorong oleh sikap pertahanan diri. Selain itu, menurut Abdul Rauf para Sarjana Barat dalam mengkaji Islam sangat dipengaruhi oleh ‘pra-anggapan’ negartif yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu dan suka seksualitas. Oleh karena itu maka hasil akhir dari kajian Barat sering tidak ‘Objektif’ dan menyakiti hati umat Muslim.
studi Islam yang dilakukan di Barat menyimpan segudang problematika yang perlu segera disikapi dan ditanggulangi. Salah satunya, persoalan peneliti Barat atau Orientalis sebagai Outsider dalam memahami Islam memiliki persoalan yang tidak remeh, mengingat kenyataan beberapa karangan beberapa Orientalis sangat bermasalah menurut kaca mata kaum Muslim. Muhammad Abdul-Rauf  mempersoalkan hal ini secara kritis. Walaupun dia tidak memungkiri beberapa Orientalis yang fairminded yang berjasa dalam melakukan studi yang baik terhadap Islam, seperti pembelaan Henri Corbin terhadap Filsafat Islam di Persia, namun dia tidak bisa berkompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan kaum Muslimin. Baginya,
“Tapi akan berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa dikatakan mengenai Islam sehubungan dengan tempat dan waktu di mana ia muncul, (tapi) keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.”
Tuntutan keras Abdul-Rauf di atas menandakan dibutuhkannya sebuah pendekatan baru yang lebih memadai dalam memahami Islam, mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilacak dari berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan dalih keilmiahan.
Di satu sisi, seorang peneliti luar (outsider) dituntut untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan valid mengenai Islam yang mereka teliti, sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (insiders). Namun di sisi yang lain, outsiders itu juga harus menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.
Namun permasalah kita di sini belum sejauh itu, yakni bagaimana sang peneliti itu sendiri mendapatkan informasi yang memadai tentang Islam. Jawaban Solipsistik tentu tidak akan memuaskan terhadap pertanyaan krusial ini, mengingat terkadang orang luar justru lebih memahami kita ketimbang diri kita sendiri. Atau dengan kata lain, terkadang seorang Orientalis lebih memahami beberapa aspek Islam ketimbang orang Muslim sendiri tidak bisa dipungkiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sumbangsih orientalis dalam kajian-kajian keislaman sangat besar, misalnya dalam menunjukkan pengaruh peradaban Islam terhadap peradaban Eropa.
Berdasarkan pada hal-hal di atas, menurut Abdur Rauf Para Sarjana Barat pengkaji Islam harus melepaskan ‘pra-anggapan’ tersebut dan menghiraukan pendapat dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat Islam. Disini terlihat jelas kritik metode Abdur Rauf atas metode studi Islam Barat,dari explanation ke emphatic atau understanding.
Selain itu, untuk membuat pemahaman komprehensif Barat atas Islam, Abdur Rauf juga menyarankan pada para sarjana dan umat muslim untuk mampu menyuarakan dirinya pada Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Hal ini, menurut hemat saya, ditujukan Abdur Rauf supaya umat muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukannya sebaliknya sebagaima yang terjadi selama ini, yakni didekte dan diimajinasikan oleh Barat. Singkatnya, Abdur Rauf tidak menolak reformasi secara keseluruhan, namun harus disesuaikan konteks dan skup wilayahnya.
Namun, Abdul Rauf juga berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis.[5], beliau tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.
Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang bermaksud untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit menginginkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam. Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu lagi menggunakan data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan apapun di dunia. Husain menilai bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari etika akademik dan keilmuan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam.

C. Perkembangan Konsep Orientalisme (Citra Barat atas Islam)
Sepanjang perkembangan sejarahnya, kajian orientalis tentang Islam dan kaum Muslim pada umumnya telah mengalami pasang surut dan memiliki fase-fase kekhususannya sendiri. Ada beberapa tahapan penting dalam sejarah terbentuknya Orientalisme. Pertama, tanggapan awal kedatangan dan perkembangan Islam (sejak abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi). Pada masa itu kesan Barat tentang Islam dan kaum Muslim tidak akurat dangan sangat negatif. Menurut W. Montgomery Watt ada “citra standar” masyarakat Eropa yang telah dibangun oleh para teolog Kristen tentang Islam.
 Kesan-kesan tersebut adalah: Islam merupakan agama yang keliru dan merupakan pemutarbalikan secara sengaja terhadap kebenaran Kristen; Islam adalah agama yang disebarkan melalui kekerasan dan pedang; Islam adalah agama hawa nafsu; dan Muhammad adalah anti Kristus. Di samping empat citra tersebut, mereka juga memandang al-Qur’an sebagai kitab suci palsu buatan Muhammad sendiri dengan mengambil bahan-bahan dari perjanjian lama, perjanjian baru dan dari kaum murtad[6].
Anggapan para teolog dan ahli Kristen semacam itu terhadap Islam disebabkan sikap permusuhan mendalam yang muncul dari ekspansi Islam ke wilayah-wilayah yang dikuasai Bizantium, juga karena terbatasnya informasi lebih akurat yang mereka dapatkan tentang Islam. Informasi yang lebih faktual tentang Islam di kalangan masyarakat Eropa muncul dari semenanjung Iberia (Andalusia) di mana terjadi kontak dan interaksi yang lebih intens antara kaum Muslim dan Kristen. Meskipun begitu informasi-informasi secara polemis tersebut tetap digunakan untuk membantah ajaran-ajaran Islam sesuai dengan kaca mata Kristen.
Tahapan kedua adalah era pasca Perang Salib. Kalau pada tahapan pertama para penyelidik masih mempunyai jarak dengan kaum Muslim di belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah beberapa gelombang Perang Salib di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang menyertai misi suci tersebut dengan leluasa berkenalan lebih dekat dengan sumber-sumber asli peradaban Islam. Dan karena sumber-sumber itu semuanya berbahasa Arab, maka mendorong munculnya studi filologi bahasa Arab sehingga pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 dimulailah gerakan Orientalisme yang sebenarnya. Beberapa tokoh yang menfokuskan pada kajian bahasa Arab di antaranya adalah: Guillaume Postel (1540-1581), Thomas Van Erpe (1584-1624), Francis Van Ravelingen (1539-1597), Jacob Golius (1596-1667), dan George Sale (1697-1736)[7].
Seiring dengan keberadaan tokoh-tokoh ini, pusat-pusat kajian keislaman didirikan di kota-kota penting Eropa. Pada 1539 departemen bahasa Arab didirikan di College de France Universitas Sorbonne Prancis. Pada 1613 di Belanda didirikan sebuah institut buat kajian yang sama. Dan pada waktu yang bersamaan Oxford dan Cambridge menyusul mendirikan kajian ke-Timur-an di mana kajian Arab-Islam merupakan yang terpenting[8]. Akhirnya, pada abad ke-18 ditandai keinginan untuk melihat Timur-Islam dalam sudut pandang yang lebih memadai. Implikasinya, yang dibutuhkan lebih dari sekedar kajian-kajian filologis.
Tahapan ketiga, yaitu era Kolonialisme dan Imperialisme Eropa ke hampir ke seluruh negeri dan bangsa non-Barat, khususnya dunia Islam. Orientalisme pada tahap ketiga ini merupakan “ajudan” para kolonialis dan alat yang paling ampuh buat mendalami kondisi sosio-historis negeri-negeri jajahan Barat. Pada masa ini dunia Timur tidak lagi menjadi obyek kajian atau obyek studi (yang murni), tetapi telah menjadi obyek kekuasaan dan kesewenang-wenangan bangsa yang lebih kuat. Dan yang mengiringi periode kolonialisme ini adalah ide Evangelisme (penginjilan)[9]. Ide dasar Evangelisme adalah bahwa keselamatan (salvation) terletak hanya pada pengakuan dosa dan penerimaan gospel Kristen. Evangelisme menciptakan konfrontasi antara Kristen Eropa dan Muslim dalam skala lebih besar daripada masa-masa sebelumnya karena pertumbuhan aktivitas misionaris terorganisasi dan perluasan kekuasan Eropa atas wilayah-wilayah Muslim. Menurut Azyumardi Azra, pada permulaan abad ke-19 (ketika kolonialisme dan imperialisme mencapai puncaknya), setidaknya terdapat dua model citra Eropa terhadap Islam. Pertama, menganggap Islam menjadi musuh dan rival Kristen. Kedua, menganggap Islam sebagai bentuk pencapaian akal dan perasaan manusia dalam usaha mereka untuk mengetahui dan merumuskan sifat Tuhan dan alam.
Beberapa tokoh Orientalisme pada tahapan ini di antaranya adalah Thomas Valpy French (1828-1891), Sir William Muir (1819-1905), Reinhart Dozy (1820-1883), Michele Amari (1806-1893), Ignas Goldziher (1850-1921), Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), Carl Heinrich Beeker (1876-1933), dan Duncan Black Macdonald (1892-1925)(19).
Dalam konteks ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa seluruh orientalis adalah “alat-alat” kolonialis dan misionaris. Karena tidak bisa dinafikan bahwa banyak juga dari para orientalis yang mempunyai niat murni untuk mempelajari Islam dan ke-Timur-an terutama pada masa-masa akhir generasi Orientalisme. Beberapa di antara mereka yang sangat respek dengan Islam adalah Louis “murid al-Hallaj” Massignon (1883-1962), W. Montgomery Watt, W. C. Smith, Henry Corbin, dan Titus Burckhardt[10]. Setelah Perang Dunia II, muncul pula kajian wilayah (terutama kajian Timur Tengah) dan pertumbuhan ilmu-ilmu sosial yang mempercepat perubahan Orientalisme sebagai topik akademis.
Para tokoh dalam proses ini antara lain Ira M. Lapidus dengan A History of Islamic Societies (1988), Bernard Lewis; di antara karya utamanya adalah The Islamic World (1989) dan The Political Language of Islam (1988), Gustav Von Grunebaum dengan judul-judul yang dipilihnya Modern Islam, Medieval Islam, dan Classical Islam. Di samping itu juga adalah Cloude Cahen (1909-1991), Phillip K. Hitti (1886-1974) dan Giorgio Levi Della Vida (1886-1967).
Pada perkembangan selanjutnya, Orientalisme bukanlah sebagai kajian obyek yang mempunyai metode tersendiri, tetapi ia kini menjadi obyek kajian, yaitu setelah terbukanya “keburukan-keburukan” Orientalisme melalui kritik yang datang baik dari kalangan luar (Muslim) seperti yang dilakukan A. L. Tibawi, Anwar Abdul Al-Malik, dan Abdallah Laroni, serta dari kalangan dalam sendiri (Barat), misalnya oleh Edward Said, Foucoult, Recourr, dan Bourdeau. Orientalisme tidak lagi menjadi karir yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya, para pengkaji ke-Timur-an dari Barat akan merasa risih untuk disebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah tersebut sangat pejoratif.
Mereka lebih suka untuk dipanggil “Islamolog”, “Egypolog” dan sejenisnya. Kajian Orientalisme sebagai obyek kemudian dilakukan di beberapa universitas Muslim yang lebih lanjut mengilhami studi akan budaya Barat yang dilihat dari sudut pandang dan prespektif “selain” Barat. Kajian ini menekankan faktor subyektifitas Timur dalam membaca dan mengkaji Barat, inilah kemudian yang disebut ‘ilmu Oksidentalisme’[11].
Kecaman terhadap Orientalisme juga datang dari pengamat Barat sendiri. Gordon E. Pruett berpendapat bahwa banyak orientalis yang memojokkan makna-makna Islam melalui operasionalisasi metodologi dunia. Kecenderungan umum yang terdapat pada tulisan orientalis adalah menganggap Islam sebagai fenomena obyektif. Dengan cara ini keyakinan Islam dan pandangan orang Islam sendiri tidak banyak diperhatikan, sehingga orientalis seringkali gagal memahami Islam secara lebih memadai. Sedangkan Bryan S. Turner, pengamat sosiologi Islam ini melihat bahwa gambaran tentang Islam dan Timur dalam Orientalisme sangat bersifat Eurosentris. Hal ini dikarenakan Islam merupakan kekuatan asing terbesar dalam masyarakat Barat yang nantinya menjadi semacam perbandingan bagi orang Barat sendiri
Di samping itu, ada kritik yang cukup obyektif dan simpatik dari Marshall Hodgson[12]  kepada Clifford Gertz, seorang antropolog Amerika yang bukunya Religion of Java sangat berpengaruh di Indonesia di kalangan tertentu. Gertz dalam bukunya itu secara ringkasnya menyatakan: “sejauh-jauh orang Jawa itu Islam, namun unsur-unsur Hinduisme, Budhisme, dan Animismenya masih lebih banyak dari pada unsur Islamnya.” Menurut Hodgson, inilah contoh stategem kolonialistik yang mencoba memperkecil makna kehadiran Islam di suatu negeri jajahan. Gertz, kata Hodgson melakukan stategem yang juga dianut oleh para ahli di kalangan kaum penjajah Perancis atas kawasan Afrika Utara[13].









D. Penutup
            Dari beberapa pemaparan dan pandangan terhadap Outsider tersebut di atas, tampaknya para pengkaji peradaban Islam masih harus mendefinisikan sikapnya yang lebih jelas, obyektif, dan konsisten terhadap Outsider atau dengan kaum orientalis. Hal itu dikarenakan para sarjana keislaman modern sendiri sekarang ini banyak yang mengembangkan otoritas akademiknya berdasarkan pengalaman akademik mereka dengan kaum orientalis atau dengan para sarjana Barat yang non-Muslim.
Abdul Rauf berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis.[14], beliau tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai akhir dari pembahasan ini, penulis menyatakan rasa salut pada upaya serius para sarjana Barat yang membantu “kita” lebih banyak belajar tentang Islam. Melalui upaya yang melelahkan, banyak dari mereka telah memberi kontribusi bermanfaat bagi pengetahuan kita tanpa menyalahi subtansi keilmuan Muslim, Nabi, atau makna al-Qur’an.
 Orang-orang semacam itu memandang Muslim sebagai masyarakat yang mempunyai kebenaran tersendiri, tidak sebagai subyek tendensi pribadi dan kelompok atau hanya sebagai obyek rasa ingin tahu. Akan tetapi, tidak menafikan juga adanya banyak sarjana Barat non-Muslim yang memang dengan sengaja mendiskreditkan umat Islam dikarenakan tendensi pribadi atau kelompoknya, yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang ekonomis, politis, maupun kultural. Fenomena ini memberi alasan kita untuk selalu bersikap kritis kepada kaum orientalis dan karya-karyanya, yang secara tidak langsung kita masih dapat menfaatkannya untuk dikaji lebih mendalam, salah satunya ialah pendekatan historis mereka kepada masalah-masalah Islam.

Dan yang lebih penting lagi ialah kesadaran mereka tentang perlunya geneologi suatu ide atau doktrin. Kesemuanya itu secara apologetik mungkin untuk membantah pendapat kaum orientalis itu, tetapi secara lebih sejati mungkin justru akan menemukan informasi-informasi yang memang kita perlukan dalam rangka memahami agama dan budaya kita sendiri.































Daftar Pustaka

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996).

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999),

Ihsan Ali Fauzi “Orientalisme di mata Orientalis: Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam” dalam Ulumul Qur’an, No. 2, Th. 1992.

Lutfi As-Syaukani, “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalis dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6 Vol. V, Th. 1994.

Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press.

M Amin Abdullah, “Kita juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No 4, Tahun 1992

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000),

Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001)
























CHALLENGE AND CRITICISM & REVIEW
OUTSIDER’S INTERPRETATIONS OF ISLAM: A MUSLIM’S POINT OF VIEW
(MUHAMMAD ABDUL RAUF)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah



Disusun Oleh :
Achmad Ridlowi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011


[1] Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001)

[2] Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press. hal. 182

[3] Ibid, hal. 193

[4] Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001) hal. 238

[5] Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar tentang Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian, hal. 237-248.

[6] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 197. Pandangan keliru mengenai al-Qur’an ini juga masih diungkapkan oleh generasi akhir orientalis, misalnya John Wansbrough. Lihat Taufik Adnan Amal, “Al-Qur’an di Mata Barat: Kajian Baru John Wansbrough” dalam Ulumul Qur’an No. 3, Th. 1992, hal. 28-45.
[7] Ihsan Ali Fauzi “Orientalisme di mata Orientalis: Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam” dalam Ulumul Qur’an, No. 2, Th. 1992, hal. 11.

[8] A. Lutfi As-Syaukani, “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalis dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6 Vol. V, Th. 1994, hal. 119.

[9] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, hal. 203.

[10] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 287-290.
[11] M Amin Abdullah, “Kita juga Memerlukan Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No 4, Tahun 1992, hal. 30-31.

[12] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 259

[13] Ibid. hal 266.

[14] Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar tentang Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian, hal. 237-248.

1 komentar:

  1. Bet on UK Casino site | Lucky Club
    The luckyclub.live best new casino sites online in the UK - play UK slots, live casino & live roulette, bingo, poker, blackjack & much more!

    BalasHapus

 
Copyright Dowi Arek b. Anget 2010.
Converted To Blogger Template by Anshul .