Senin, 27 Juni 2011

Antara Negara Islam dan Syariat Islam (Sebuah Upaya Pembongkaran Makna Universialitas)


                                                       Antara Negara Islam dan Syariat Islam
(Sebuah Upaya Pembongkaran Makna Universialitas)

Disepakati atau tidak  ketika kita berbicara tentang syariat Islam, maka hal ini selalu dikaitkan (identik) dengan Negara Islam. Kegandrungan semacam ini, sudah "membudaya" di kalangan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa untuk "menegakkan" syariat Islam haruslah dengan mendirikan "Negara Islam". Menurut hemat penulis pandangan semacam ini adalah pandangan yang kurang bijaksana (tidak untuk menyatakan salah), sebab secara umum syariat Islam bermakna keadilan dan tidak berbuat  eksploitasi. Artinya, idiologi apapun yang dipakai sebuah Negara selagi tidak bertentangan dengan Islam dan mendasarkannya pada keadilan dan tidak berbuat eksploitasi, hal ini bisa dikatakan sebagai penerapan dari syariat Islam. Oleh karenanya, untuk lebih mendalami hal ini, melalui tulisan singkat ini kita akan coba membahas hal-hal yang bersangkutan dengan ini. Mudah-mudahan dengan tulisan yang sangat jauh dari kesempurnaan ini dapat menambah wawasan kita. Amiin .

Masalah Universialitas Islam
Keberlakuan ajaran Islam untuk semua orang dan untuk seluruh dunia merupakan makna dari universialitas Islam. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian antara ajaran Islam dan kebutuhan manusia. Dalam Al-Qur'an ditegaskan bahwa ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia (Q.S.30:30). Ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an mengklaim bahwa ajaran Islam diperkenalkan sesuai dengan seluruh manusia. Sebab kita menyadari bahwa fitrah kemanusiaan merupakan sesuatu yang dimiliki seluruh manusia. Akan tetapi di sisi yang lain adanya sebuah kenyataan yang tidak dapat di hindarkan oleh manusia itu sendiri, yakni adanya perbedaan antara mereka baik perbedaan diakibatkan oleh waktu maupun  tempat. Dari kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa adanya ajaran Al-Qur'an yang bersifat universal yang berpijak pada persamaan yang dimiliki oleh manusia dan yang particular dan kondisional akibat perbedaan waktu dan tempat.[1] Hal senada juga diutarakan oleh Prof.Dr. Harun Nasution dalam bukunya "Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran". Beliau brpendapat, sebagai agama universal, Islam mengandung ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan waktu. Hal ini  disesuiakan dengan situasi, kondisi, tempat dan zaman tertentu.[2]
Terlepas dari semua itu, secara substansial ajaran Islam merupakan ajaran yang sesuai dengan segala zaman dan waktu. Tinggal bagaimana kita menyikapi tantangan-tantangan zaman, jangan sampai kita terjebak pada makna dari dzahir teks baik Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebab yang menjadi pedoman mutlak ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits serta semangat dari keduanya.

Masalah Negara Islam
Adalah suatu pertanyaan yang menarik, ketika kita bertanya tentang Negara Islam (apakah ada negara Islam?). Sejatinya ketika pertanyaan ini muncul yang terbit dalam benak kita adalah penerapan syariat Islam. Menurut hemat penulis, "Islamic state" atau Negara Islam tidak ada dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah. Oleh karenanya, tidak ada dalam Islam perintah untuk mendirikan Negara Islam. Prof.Dr. Amin Rais berpendapat, yang lebih penting adalah selama Negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan, menciptakan masyarakat yang egalitarian. Yang jauh daripada eksploitasi manusia atas manusia atau atas kelompok, maka hal ini akan dipandang suatu Negara yang baik menurut Islam.[3]
Apakah akhirnya suatu Negara yang "mendasarkan" Islam sebagai dasar Negara jika hanya formalitas kosong semata. Contoh konkrit, di saudi Arabia, aplikasi syariat di sana sangat sempit dan sangat jauh dari idealisme Islam itu sendiri. Seperti dalam politik, mereka menerapkan system monarki yang absolut sementara kalau kita lihat sejak kholifah –kholifah yang menggantikan nabi, sistemnya bukan monarki yang absolut melainkan monarki yang menggunakan system pemilihan. Bagaimana dengan Indonesia? Selama tidak bertentangan dengan Islam dan realisasi dari sila-sila itu bukan sebagai formalitas kosong maka itu sudah cukup baik, sebab Islam sangat menekankan konsistensi antara apa yang di ucapkan dengan apa yang dikerjakan.
Di sisi lain, kita dapat melirik kembali pada sejarah ketika nabi Muhammad S.A.W mendirikan Negara yang pada saat itu diberi nama yastrib dan kemudian bersatu dengan mekkah pada hakikatnya bukanlah suatu Negara yang diberi nama (title) Negara Islam.akan tetapi pada akhir hayatnya yakni pada saat surat al- maidah ayat 3 diwahyukan, kira-kira 3 bulan kemudian nabi S.A.W wafat, sesungguhnya sudah tumbuh suatu masyarakat yang dibangun oleh dan dibawah pimpinan nabi S.A.W. sendiri. Yang tidak diberi nama khusus oleh nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai Negara, sedangkan hukumnya oleh tuhan sudah dinyatakan sempurna. Suatu hal yang menarik, di Indonesia pada zaman Syarikat Dagang Indonesia para pemimpin kita sering mengatakan"hiduplah sesuai dengan Islam, dan tidak perlu menunggu diatur oleh undang-undang Negara sebab hidup secara Islam sudah pasti tidak merugikan orang lain".[4]
Hal ini kita dapat berkesimpulan,bahwa pada hakikatnya kehidupan "ala" Islam sudah merupakan kehidupan yang sangat "ideal" dan tidak perlu lagi kita menyatakan harus mendirikan Negara Islam.  pada akhirnya saya berkeyakinan bahwa setiap Negara yang idiologinya tidak bertentangan dengan Islam dan selama masih menerapkan sebuah "keadilan"dan berpedoman kepada kemaslahatan ummat serta tidak menimbulkan eksploitasi baik individu maupun kelompok adalah sebuah Negara yang ideal (mungkin inilah makna dari rahmatan lil alamin) tidak perlu kita bersikeras untuk mendirikan Negara Islam apalagi sampai merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.




[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 213-214.
[2]Harun Nasution "Islam rasional gagasan dan pemikiran", hal 33.
[3]Tidak ada Negara Islam (surat-surat politik Nurholis Majid-Moh Room) penyunting: Laksmi pamuntjak dkk, hal. XXIV.
[4]Ibid. Hal 7-9











[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 213-214.
[2]Harun Nasution "Islam rasional gagasan dan pemikiran", hal 33.
[3]Tidak ada Negara Islam (surat-surat politik Nurholis Majid-Moh Room) penyunting: Laksmi pamuntjak dkk, hal. XXIV.
[4]Ibid. Hal 7-9












MUSIBAH, BALA’, DAN FITNAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN

MUSIBAH, BALA’, DAN FITNAH  PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Melacak Informasi al-Qur’an Tentang Bencana[1]

Peristiwa bencana alam yang menghampiri negeri Indonesia tercinta ini, beberapa tahun terakhir bertubi-tubi berpengaruh secara signifikan dalam perkembangan berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun budaya. Dimulai dari peristiwa yang menimpa Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 hingga yang terakhir gempa 7 SR menghantam Sumatera Barat, Jambi, dan kawasan Sumatera lainnya, sungguh merupakan peristiwa yang sangat luar biasa serta menimbulkan dampak yang sangat besar pula. Bukan saja dari segi fisik-material bahkan juga psikis dan spiritual. Berbagai tanggapan muncul dan tidak sedikit orang yang goncang hati dan imannya.

Ada yang berkata bahwa Tuhan telah murka pada penduduk sekeliling, ada juga yang lebih ekstrim dengan melontarkan ucapan bahwa Tuhan kejam dan tidak lagi mengasihi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa memang ada dua Tuhan, Tuhan yang baik dan bijaksana menciptakan kebaikan, dan yang jahat itulah yang berperan dalam peristiwa bencana alam yang super dahsyat itu. Sebagai seorang beragama dan percaya akan ke-Esa-an Tuhan dan kasih sayangnya, pernyataan seperti di atas tidaklah pantas terlintas dalam benak kita, sebab kita harus meyakini bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, adalah rabb al-‘Amin (Pemelihara Sekalian Alam), dan dalam konteks pemeliharan-Nya itu, terjadi sekian banyak hal yang antara lain dapat dilihat dalam pandangan manusia sebagai malapetaka atau tanpa belas kasih.

Adalah sesuatu yang sulit dijelaskan dan bahkan musykil jika adanya sesuatu yang dinilai buruk terjadi atas izin Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Adil itu, khususnya untuk memuaskan semua nalar. Itu sebabnya jawaban yang sering terlontar untuk masalah semacam ini adalah bahwa “ada hikmah dibalik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai keburukan maupun sebaliknya”. Namun jawaban semacam ini jelas tidak mampu memuaskan nalar. Sementara pakar agama termasuk Islam mengkompromikan masalah ini dengan menyatakan apa yang dinamai keburukan sebenarnya “tidaklah ada” atau paling tidak hanyalah pandangan nalar manusia yang memandang secara parisal, bukankah Allah sendiri telah menyatakan:
“Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya…(Q.S. al-Sajadah: 7)

Jika demikian, bahwa segalanya adalah ciptaan Allah dan segalanya baik, munculnya keburukan adalah merupakan keterbatasan pandangan manusia. Ia sebenarnya tidak buruk hanya karena nalar manusia yang mengiranya demikian. Persis seperti memandang titik hitam (tahi lalat) pada wajah seorang perempuan, keterbatasan pandangan yang terfokus pada objek tersebut menjadikan sipemandang melihatnya buruk, tetapi ketika wajah dipandang secara menyeluruh, maka titik hitam tersebut justru menjadi unsur kecantikannya. Oleh karena itu, Allah mengingatkan “bahwa boleh jadi engkau tidak senang kepada sesuatu, padahal dia itu bik untuk kamu, begitu pula sebaliknya” (Lihat Q.S. al-Baqarah: 216). Lalu bagaimana sebenarnya pandangan dan penjelasan al-Qur’an mengenai kejadian dan peristiwa yang menimpa manusia, seperti yang dialami oleh bangsa ini. Tulisan ini akan mengungkapnya dalam pembahsan yang sederhana.
Dalam al-Qur’an ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang tidak disenangi, antara lain; Musibah (مــصـيــبـة ), Bala’ (بلاء ), ‘Adzab (عــذاب), ‘Iqab (عــقا ب ), dan Fitnah (فـتـنـــة ). Namun pengertian dan cakupan maknanya berbeda-beda. Dalam tulisan ini akan dijelaskan tiga dari istilah di atas. Mari kita perhatikan pembahasan berikut;

Pertama, kata musibah mulanya berarti menimpa atau mengenai. Memang bisa saja yang mengenai atau menimpa itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Namun jika al-Qur’an menggunakan kata musibah, maka itu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa manusia. Artinya bahwa jika sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa manusia itulah yang dinamakan musibah dalam bahasa al-Qur’an. Ada tiga hal yang dapat kita lacak tentang musibah dalam al-Qur’an. Pertama, musibah terjadi karena ulah manusia, antara lain dikarenakan oleh dosa mereka. Dalam surah al-Syura: 30  dan surah an-Nisa: 79 Allah menjelaskan tantang hal ini. Kedua, Musibah itu tidak akan terjadi kecuali atas izin Allah, hal ini dapat kita perhatikan bagaimana Allah menjelaskannya dalam beberapa firmannya, antara lain dalam surah at-Taghabun: 11 dan al-Baqarah: 157. Ketiga, musibah antara lain bertujuan menempa manusia karena itu kita dilarang untuk berputus asa akibat jatuhnya musibah (lihat Q.S. al-Hadid: 22).

Kedua kata bala’. Kata ini pada dasarnya dimaknai nyata /nampak seperti dalam firman Allah:
“Pada hari kiamat akan dinampakkan rahasia-rahasia” namun makna tersebut berkembang sehingga dapat disimpulkan bahwa bala’ bermakna “ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang”. Jika musibah dijatuhkan Allah karena akibat ulah atau kesalahan manusia, sementara bala’ tidak mesti demikian, dan bahwa tujuan bala’ adalah peningkatan derajat seseorang dihadapan Allah swt.

Selanjutnya kata fitnah, pada awalnya kata finah berarti membakar, dalam kamus bahasa Indonesia kata ini diartikan sebagai “perkataan yang bermaksud menjelekkan orang lain”, namun al-Qur’an tidak sekalipun menggunakannya dengan makna tersebut. Kitab suci ini umumnya menggunakanya dalam arti siksaan atau ujian/ cobaan. Dalam surah al-Anbiya’ ayat 35 Allah mempersamakan antara makna kata bala’ dan fitnah. Disana disebutkan Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati, Kami akan melakukan bala’/menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (ujian yang sebenar-benarnya)…Oleh karena itu, sekian banyak ayat yang mengandung informasi tentang ragam ujian yang sama, walau sekali menggunakan kata bala’ dan kali lain menggunakan kata fitnah. Lihat misalnya Q.S al-Anfal: 28, baca pula al-Taghabun: 15.

Jika demikian, secara umum kita dapat mempersamakan kedua kata tersebut, yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa fitnah/ujian dilakukan Allah sebagai peringatan, dan tentu saja apabila peringatan tidak juga diindahkan setelah beberapa kali, maka adalah wajar jika dijatuhkan tindakan yang lebih keras lagi terhadap yang tidak mengindahkan.

Nah setelah kita mengetahui ketiga makna istilah di atas, maka kini kita bertanya, apakah tsunami dan gempa yang melanda negeri ini bahkan beberapa kawasan di jagad semesta ini merupakan musibah, bala’, atau fitnah? Jika kita bercermin pada kisah Nabi Nuh as. (Q.S. Hud: 40-44) dimana pada saat itu terjadi tsunami dan banjir yang sangat besar, jelas sekali bahwa peristiwa ini terjadi akibat dari kedurhakaan mereka dan itulah musibah yang menimpa orang-orang yang durhaka, sementara orang-orang yang tidak durhaka diselamatkan oleh Allah dalam perahu Nabu Nuh itu.

Dengan demikian, melihat sebagian besar yang menderita dan tewas dalam rentetan bencana yang menimpa bangsa ini adalah anak-anak atau orang tua, serta berprasangka baik terhadap yang gugur, maka agaknya tidaklah tepat jika dikatakan jika peristiwa tersebut sebagai musibah  dalam bahasa al-Qur’an, adalah tepat jika peristiwa tersebut dinamai fitnah dari pada musibah dalam perspektif al-Qur’an. Disini kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudarat akibat peristiwa tersebut, maka itu adalah akibat dosa mereka. Sedangkan yang tidak berdosa, maka bagi mereka yang hidup merupakan bala’  yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Wallahu a’lam.  


[1]Disadur dari Tulisan M. Quraish Shihab, dalam  Jurnal Studi al-Qur’an

Bid’ah atau Ibadah?

Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Bid’ah atau Ibadah?

Sebelum kita masuk pada penjelasan apakah perayaan atau peringatan maulid Nabi saw itu boleh atau tidak, di sini akan dijelaskan terlebih dahulu sisi historis perayaan Maulid Nabi saw. sebagai suatu pengetahuan agar pemahaman kita terhadap hal ini lebih mendalam. Dalam perspektif historis,  Rasul saw. lahir pada tanggal 12 Rabiul awwal, tanggal inilah yang kemudian dijadikan sebagai patokan peringatan Maulid Nabi saw. Secara historis, perayaan naulid Nabi Muhammad saw. dilakukan pada zaman kekhalifahan Fatimi (keturunan dari Fatimah az-Zahrah, puteri Rasulullah saw.). Adalah Salahuddin al-Ayyubi (1137-1193 M), seorang jendral perang pada waktu itu, mengusulkan kepada khalifah untuk mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad saw. tujuan utamanya adalah untuk mengeembalikan semangat juang kaum Muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjidil Aqsa dari cengkraman kaum kafir (salibis), nah hal ini berhasil, sebab pada tahun 1187 Masjidil Aqsa berhasil dibebaskan dari cengkraman kaum kafir Salibis dibawah komando langsung dari Al-Ayyubi.
Jika menelusuri sejarah, ternyata Nabi Muhammad SAW belum pernah merayakan hari ulang tahunnya dengan upacara dan acara, Rasulullah memperingati kelahirannya dengan berpuasa. Pada suatu kesempatan Nabi Muhammad saw. ditanya oleh seorang sahabat: ”Wahai rasul, mengapa engkau berpuasa hari Senin?” Rasul menjawab: “Pada hari Senin itu aku dilahirkan”. Nah, apakah kalau Nabi Muhammad saw. dan para sahabat tidak pernah mengadakan peringatan maulid, lalu bagi yang merayakannya ini berarti mengada-ngada, dan apakah termasuk bid’ah?
Dalam penjelasan tentang bid’ah, sebagian besar ulama menyatakan bahwa tidak semuanya bid’ah itu sesat. Menurut Imam al-Iz Abdussalam, Ibnu Atsar menjelaskan bahwa ada bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah. Bid’ah dholalah (sesat) adalah bid’ah yang tidak ada dasar hukummnya dan tidak ada perintah sama sekali dari syariat, sedangkan bid’ah hasanah adalah suatu amalan yang dasar perintahnya sudah ada dari Rasulullah, namun teknisnya tidak diatur langsung dan itu bukan temasuk ibadah mahdah muqayyadah (ibadah murni yang telah ditentukan tata caranya).
Selanjutnya mari kita mengkaji tentang hukum peringatan Maulid Nabi saw. (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kitab Husnul Maqasid fil amal al-Mawalid karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi). Seperti yang disebutkan di atas bahwa ada dua macam ibadah, pertama, ibadah mahdah muqayyad yakni ibadah murni yang tata caranya terikat dan tidak boleh diubah, sebab perintah dan teknis pelaksanaannya dicontohkan langsung oleh Rasulullah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji yang harus disesuaikan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Beliau. Kedua,  ibadah mutallaqah ghairu muqayyadah, yakni perintahnya ada namun teknis pelaksanaannya diserahkan pada tiap individu. Seperti berzikir, perintahnya sudah ada namun teknisnya tidak ditentukan sebagaimana firman Allah surah an-Nisaa ayat 103:
فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ

…Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring…

Zikir disini merupakan suatu perintah, sementara teknisnya terserah kita tidak ada batasan-batasan tertentu, tergantung pada situasi dan kondisi dan selama tidak melanggar ketentuan syariat. Demikan pula dengan bersalawat atau membaca salawat keapada Rasul, juga diperintahkan oleh Allah swt.  seperti yang dinyatakan dalam surat al-Ahzab ayat 56;
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

”Sesungguhnya Allah dan malaikat bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepada Nabi dan ucapkanlah salan penghormatan kepadanya.”

Perintah membaca shalawat ada sedangkan teknisnya terserah kita. Boleh sholawat yang panjang, pendek, prosa, maupun syair, yang penting bershalawat kepada rasullullah. Hal ini termasuk juga berdakwah, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah an-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

”Serulah (manausia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”

Berdakwahlah kamu ke jalan Allah dengan cara hikmah dan mauidzah hasanah atau wejangan yang baik. Perintahnya ada, sedangkan teknis pelaksanaannnya terserah kita, boleh dalam bentuk pengajian umum, pengajian rutin di masjid, ataupun media TV, radio, koran, majalah,diskusi, maupun seminar. Semuanya di persilahkan yang penting momentum dan misinya adalah dakwah.
Jika demikian maka dapat kita simpulkan, bahwa merayakan peringatan Maulid Nabi saw. merupakan sebuah ibadah yang ada dalilnya (disamping juga sebagai sarana dakwah), namun secara teknis dan pelaksanaan diserahkan kepada kita, selama hal itu dilakukan untuk dakwah dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Wallahu a’lam.

(Telaah karya : Charles, J Adam, “ Islamic Religion Tradition “ dalam Leonard Binder (Ed), The Study Of The Middle East : Research And Scholarship In The Humanities And The Social Sciences, Canada : john Wiley and Sons, Inc, 1976)

TEORI DASAR PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM
(Telaah karya : Charles, J Adam, “ Islamic Religion Tradition “ dalam Leonard Binder (Ed), The Study Of The Middle East : Research And Scholarship In The Humanities And The Social Sciences, Canada : john Wiley and Sons, Inc, 1976)

Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan . Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Untuk menjadikan dimensi islam yang lebih luas dan utuh inilah maka Charles J Adams dalam bukunya The Study Of The Middle East menjelaskan tentang apa itu islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Namun, terdapat kesulitan yang sangat esensial dalam melakukan kajian terhadap Islam menurut Charles J Adams. Hal ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu; islam dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas.[1]
Adams kemudian mencoba menjawab Kesulitan ini untuk melihat Islam dengan berbagai metode dan pendekatan yang lebih relevan dan universal seperti ; pendekatan Normatif, pendekatan Filologi dan historis, pendekatan Ilmu Sosial, dan pendekatan Fenomenologi dalam memetakan antara islam dan tradisi keagamaan. Dengan berbagai alternatif pendekatan yang digunakan oleh Adams, ia ingin menunjukkan walau bagaimanapun bahwa Islam memiliki aspek historis yang termanifestasikan dari pengalaman dan tindakan umatnya dalam menunjukan keimanannya.
Tulisan ini akan memaparkan tawaran pemikiran Charles Adams tentang bagaimana metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji Islam.




A.    Pendekatan Normatif atau Keagamaan
Pendekatan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Pendekatan Misionaris Tradisional (Traditional Missionary Approacch)
Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika[2]. Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan untuk mempermudah mengkristenkan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu, karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen–, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.[3]
2. Pendekatan Apologetik (Apologetic Approach)
Ciri dan karakter pemikiran Muslim pada abad ke-20 adalah pendekatan apologetik. Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam terhadap situasi modern. Di hadapkan pada situasi modern, Islam ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan modernitas, agama peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern. Tema seperti ini menjadi fokus kajian para penulis buku dari kalangan Islam atau Barat seperti Sayyid Amir Ali dengan bukunya The Spirit of Islam (1922), W.C. Smith, Modern Islam in India (1946), dan Islam in Modern History (1957).[4]
Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka. Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan agama Islam sendiri.
Seperti halnya misionaris yang tertarik mengkaji Islam, gerakan apologetik ini memiliki beberapa karakteristik. Oleh karena apologetik lebih concern pada bagaimana menampilkan Islam dalam performance yang baik, maka mereka sering terjebak dalam kesalahan yang tidak mengindahkan nilai keilmuan. Pendekatan apologetik sering menghasilkan literatur yang mengandung kesalahan dalam bentuk distorsi, selektivitas dan pernyataan yang berlebihan dalam menggunakan bukti, sering menampilkan sisi romantisme sejarah dan keberhasilan ummat Islam, dan kesalahan dalam melakukan analisis perbandingan, serta disemangati oleh sifat atau karakter tendensius. Kegagalan para apologis Muslim modern adalah melakukan kajian Islam dengan motif dan tujuan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk tujuan ilmiah.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi
3.  Pendekatan Irenik (Irenic Approach)
Sejak Perang Dunia II,  gerakan yang berakar dari lingkungan keagamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa[5]
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic.Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi.[6] Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama,  pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.

B.     Pendekatan Deskriptif
1.      Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philological and Historical Approach)
Perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pendekatan Filologi dan Historis meski sedikit berbeda namun dalam prakteknya berjalan beriringan. Karena, sebab inilah kemungkinan besar yang mendorong Adams untuk menyatukannya.
Sebagaimana dalam kamus ilmiah, filologi adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya. [7]Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan studi agama (Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamaan guna mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan tersebut. Menurut keyakinan filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.[8]
Karena filologi banyak berkutat dalam kebahasaan, maka kunci utama filologi ialah bahasa. Seorang filolog setidaknya harus menguasai bahasa sumber, jika dalam Islam ialah bahasa Arab. Selain itu, menurut Adams seorang filolog yang sedang mengkaji Islam idealnya juga menguasai bahasa-bahasa tambahan lainnya, yakni Bahasa Persia, Urdu, Turki, Melayu dan Indonesia. Hal ini karena dari wilayah-wilayah itu banyak muncul literatur-literatur yang diidentikkan dengan Islam.[9]
Kemudian pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri hubungan karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur kesejarahannya dapat diketahui. Objek sasaran pendekatan historis diantaranya sebagai berikut:

1.      Perubahan literarur dengan bahasanya sebagai akibat penerbitan ulang.
2.      Fungsi dan tujuan literatur tersebut ketika dibuat.
3.      Kedudukan pengarang pada saat membuat (jika manusia).
4.      Literatur sebagai wakil zamannya.[10]
Dari sini maka bisa diketahui dengan jelas bahwa hubungan antara pendekatan filologi dan pendekatan historis ialah sangat erat, bahkan bisa dikatakan sama. Dan dari sini pula bisa diambil pemahaman bahwa pendekatan filologis historis setidaknya mempunyai beberapa kata kunci, yakni naskah, bahasa, makna, pengarang, asal-usul atau latar belakang kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah. Jika menurut Muhammad Latif, pendekatan filologis historis mencakup tiga hal yang saling bertautan, yakni tafsir, content analysis, dan hermeneutika.[11]
Pendekatan filologi dan sejarah dianggap sangat produktif dalam studi Islam. Lebih dari 100 tahun sarjana membekali diri dengan prinsip-prinsip bahasa orang Islam dan memperoleh pendidikan dalam bidang metode filologi untuk memahami bahan-bahan tekstual yang menjadi bagian dari keberagamaan Islam. Karya di bidang filologi sebenarnya merupakan kesinambungan dari pendekatan serupa dalam kajian perbandingan bahasa atau studi Bibel. Hal ini disebabkan karena status Bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh dari rumpun bahasa Semit.
Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga memainkan peran penting dalam dunia orang Islam sendiri yang berbentuk penelitian filologi dan sejarah yang banyak dilakukan oleh pembarahu, intelektual, politisi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filologi dan sejarah, sarjana telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang terlupakan di kalangan Muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini untuk melakukan revitalisasi Islam.
Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam studi Islam. Argumentasi Adams adalah karena Islam memiliki banyak bahan berupa dokumen-dokumen masa lampau dalam bidang sejarah, teologi, hukum, tasawuf dan lain sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.
Metode filologi dan sejarah akan tetap relevan untuk studi Islam, baik untuk masa lalu, sekarang maupun yang akan datang. Adams lebih lanjut menjelaskan, penekanan terhadap pendekatan filologi ini bukan berarti tidak menghargai pendekatan lain untuk mengkaji kehidupan umat Islam kontemporer. Pendekatan behavioral kontemporer terhadap Islam tetap memiliki signifikansi dalam membangun pengetahuan tentang Islam sebagai sebuah living religion. Yang hendak ditegaskan Adams adalah filologi merupakan kata kunci untuk melakukan penelitian tentang realitas praktek dan kelembagaan Islam di masa lalu. Metode dan pendekatan ilmu behavioral harus digunakan apabila cocok digunakan tetapi tidak harus menolak tradisi penelitian filologi.
Pada bagian sub pembahasan tentang pendekatan filologi dan sejarah ini, Adams berharap agar di masa mendatang para pengkaji Islam tetap membekali diri dengan metode penelitian filologi dan sejarah dan juga familier dengan metode dan pendekatan ilmu-ilmu behavioral. Sampai dengan sekarang masih jarang terjadi komunikasi antara ilmuan behavior yang tertarik mengkaji Islam dengan pengkaji Islam yang menggunakan pendekatan filologi, bahkan antara mereka saling tidak mempercayai.
2.      Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat melihat masyarakat dalam teks.[12]
Kemudian ‘apa itu pendekatan Ilmu Sosial?’ menurut Adams sangat sulit untuk didefinisikan, terutama semenjak terjadinya perdebatan para ilmuan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan. Apakah pendekatan ilmu alam (sosiologi positivistik) memadai untuk mengkaji manusia yang nota bene esensinya sangat berbeda?. Alam bersifat kontinyu, tetap dan berulang-ulang sementara manusia (budaya dll) besifat temporal, dinamis dan tak berulang. Perdebatan ini memunculkan metode baru dalam kajian sosial, yakni metode Verstehen (pemahaman /penafsiran) sebagaimana yang dikatakan Delthy. 
Para pencetus metode ini menyatakan bahwa metode ilmiah (scientific), yang bersifat Erklaren (penjelasan) dengan menggunakan logika sebab-akibat sebagaimana dalam menjelaskan alam, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan manusia yang mempunyai perasaan, keinginan, serta impian. Alam memunculkan hukum sedangkan manusia melahirkan ‘nilai’.[13] Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan ilmu sosial disini ialah pendekatan scientis-positivistik tersebut.
Ciri-ciri pendekatan scientis diantaranya ialah:
1.      Menyatakan bahwa metode-metode ilmu alam bisa digunakan dalam ilmu sosial.
2.      Mengandaikan adanya metode serta pengetahuan yang bersifat Objektif, netral, dan bebas nilai.
3.      Hasil penelitian sosial bisa dijadikan hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam.
4.      Hasil penelitian harus bersifat teknis yang bisa digunakan untuk keperluan apapun, sehingga tidak bersifat etis serta lepas dari dimensi politis manusia.
5.      Melepaskan objek kajian dari historisitasnya.
6.      Cenderung membagi dan memetakan objek kajian dengan menggunakan kategori-kategori.
7.      Bersifat menjelaskan, empiris, dan akhirnya mengontrol. Dan masih banyak lagi.
Kemudian dalam wilayah studi agama usaha yang ditempuh oleh pendekatan sosial ilmiah ialah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini ialah menemukan aspek empirik keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya .[14]
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita. Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit.
Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Adams menunjukkan kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia. Kritikan Adams terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial paralel dengan pendapat W.C. Smith yang menyatakan bahwa aspek-aspek eksternal agama dapat diuji secara terpisah-pisah dan inilah kenyataannya yang berlangsung sampai beberapa waktu yang lalu, khususnya pada tradisi Eropa. Padahal persoalannya tersebut dalam dirinya bukanlah agama.
Meskipun memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan pendekatan ilmu-ilmu sosial, Adams mengakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.
Menurut Adams pengecualian harus diberikan untuk pendekatan antropologi. Dalam banyak hal, pendekatan antropologi dan sejarah agama sangat erat. Hal ini disebabkan karena kedua disiplin ini sama-sama tertarik untuk mengkaji seluruh kehidupan masyarakat, antropolog melebihi ilmuwan politik, sosiologi atau ekonomi karena antropolog mengkaji seluruh aspek kehidupan masyarakat beragama yang dijadikan subjek studi. Pendekatan antropologi tertarik untuk mengkaji fenomena agama dan seluruh aspek ekspresi keberagamaan. Di antara ilmuwan sosial yang melakukan kajian Islam dengan pendekatan antropologi adalah Clifford Geertz.
Pendekatan antropologi mampu menghasilkan studi yang menjelaskan tentang ekspresi keberagamaan Islam lokal menurut tempat dan gaya hidup yang berlainan.
Seorang ilmuwan sosial yang tetap mempertahankan model studi dengan memilih dan menkotakkan aktivitas manusia ke dalam bentuk bagian-bagian, sebagai sudut pandang secara sempit tetapi masih sangat penting adalah pendekatan yang dilakukan oleh C.A.O. van Nieuwenhuijze dalam sebuah tulisannya “The Next Phase of Islamic Studies: Sociology?”. Van Nieuwenhuijze menyatakan bahwa metode sosiologi dan ilmu sosial lainnya mungkin akan menambah pemahaman baru tentang tradisi keberagamaan Islam.[15]
3.      Pendekatan Fenomenologi ( phenomenological Approach)
Menurut Adams, terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi dalam kajian agama (islam). Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara ‘netral’ sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu  dan perbedaan budaya masyarakat.[16]
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan.[17]Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya. [18]
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’ dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).[19]Maka dari itu, dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi membutuhkan perangkat lain, misalkan sejarah, filologi, arkeologi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.
Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan, seseorang dapat mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk Religionswissenschaft.[20] Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi Religionswissenschaft seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut fenomenologi agama.
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dalam hal ini, Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan “ya” terhadap deskripsi tersebut.[21]
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.

Bidang Kajian Studi Islam
Adams membagi bidang kajian dalam studi Islam terdiri dari sebelas bidang, yaitu Arab pra-Islam, studi tentang Nabi Muhammad, studi al-Quran, studi Hadis, kalam, hukum Islam, filsafat, tasawuf, aliran Islam khususnya Syi’ah, dan peribadatan serta popular religion.
            Pembagian bidang kajian yang menjadi subject matter studi Islam seperti di atas dipengaruhi oleh definisi Adams tentang Islam dan Agama. Meski pun Adams pesimistis untuk dapat menemukan kesepakatan umum tentang definisi Islam, namun dia akhirnya mengatakan bahwa Islam bukan hanya terdiri dari satu hal (one thing), tetapi Islam mempunyai banyak hal (many things) yang selalu berubah dan berkembang sehubungan dengan kondisi sejarah. Apapun definisi ilmuwan tentang Islam, menurut Adams, Islam dapat dijadikan objek kajian sebagai bagian dari sejarah.

Konstribusi Charles J. Adams terhadap Studi Islam
Memperhatikan tulisan Adams dalam bentuk artikel “Islamic Religious Tradition”, dapat dipahami bahwa Adams merupakan salah satu sarjana Barat yang mencurahkan waktu dan pikirannya terhadap pengembangan studi Agama dan studi Islam. Latar belakang pendidikan Magister dan Doktornya dalam bidang History of Religion semakin meneguhkan dirinya sebagai salah seorang ahli dan expert dalam studi Islam.
M. Amin Abdullah menyebut Adams sebagai salah satu sarjana Barat yang berpendapat bahwa metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu keislaman, dan merasakan pentingnya menerapkan kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara pandang yang biasa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada wilayah studi keislaman.[22] Secara konseptual, pendekatan yang ditawarkan oleh Adams dalam studi Islam, sebenarnya merupakan penguatan terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh Joseph M. Kitagawa yang menyatakan bahwa disiplin religionwisennschaft terletak di antara disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. Mengkaji agama dapat dilakukan dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek deskriptif studi agama harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan perkembangan historis masing-masing agama, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, filologi, dan hermeneutik.[23]
Konstribusi konkrit Adams adalah ketika memberikan eksplanasi dan pemetaan yang jelas dari pendekatan normatif dan deskriptif dalam studi Islam dengan diikuti uraian yang detail untuk masing-masing pendekatan. Kemudian masing-masing pendekatan tersebut coba digunakan dalam mengkaji bidang telaah studi Islam yang terdiri dari sebelas bidang kajian. Bagi pengkaji Islam sekarang, pemikiran Adams yang tertuang dalam artikel tersebut, sangat membantu karena Adams begitu banyak melaporkan hasil penelusuran literatur (prior research and concept on the topic) mengenai pendekatan tersebut.
Hasil bacaan yang sangat banyak tersebut tidak sekadar dilaporkan secara detail, tetapi Adams memberikan kritikan sekaligus menyuguhkan kegelisahan akademik untuk masing-masing wilayah telaah dalam studi Islam yang dapat ditindaklanjuti dengan penelitian oleh para pengkaji Islam sekarang. Tidak mengherankan kalau banyak sarjana Barat-pun yang menjadikan pemikiran Adams sebagai referensi dalam pembahasan studi agama dan Islam.
Pendapat Adams tentang studi al-Quran yang bisa mempertanyakan hal-hal berikut materi-materi sebagai pembentuk teks al-Quran, kronologi materi-materi yang tersusun dalam teks, sejarah teks, varian bacaan, hubungan al-Quran dengan literatur sebelumnya, dan isu-isu hangat lainnya yang sejenis telah diteliti sepenuhnya. Menurut Andrew Rippin pernyataan Adams tersebut mengusik kegelisahan akademik John Wansbrough, sehingga dia tertarik melakukan analisis sastra terhadap al-Quran, tafsir dan Sirah.[24]
Richard C. Martin pun menempatkan Adams sebagai rujukan utama untuk menguatkan beberapa pendapatnya. Misalnya ketika menulis buku Approaches to Islamic in Religious Studies, Ricard Martin meminta Adams memberikan prakatanya.[25] Bahkan Ricard Martin sempat memuja Adams bahwa Adams terdidik sebagai Islamis, ia mempelajari sejarah agama bersama Joachim Wach di Universitas Chicago. Adams memilih mengejar dua disiplin ini dengan tujuan untuk mendapatkan alat konseptual guna mempertajam analisis terhadap tradisi Islam dan pemahaman yang lebih tepat tentang hubungan antara unsur-unsur berbeda sekaligus hubungan strukturalnya dengan tradisi lain.
Dalam kaitannya dengan wilayah telaah dalam studi Islam, Adams memberikan rekomendasi 6 wilayah telaah yang harus memperoleh perhatian para pengkaji Islam. Ke-enam wilayah telaah tersebut adalah Pertama studi al-Quran terutama berkaitan dengan ajaran, gagasan dan pandangan dunia tentang al-Quran. Kedua, sejarah teologi Islam masa-masa permulaan dengan perhatian khusus pada Mu’tazilah. Ketiga, studi sufi dengan penekanan pada karya-karya individual, teks dan tarikat. Keempat studi Syiah dengan fokus kajian keunikan dan kekayaan konstribusinya terhadap ilmu keagamaan. Kelima studi agama rakyat di kalangan muslim, dan ke-enam adalah kajian tentang sejarah agama yang muncul di Eropa dan Amerika dengan menggunakan pendekatan ilmiah.
Pendekatan yang ditawarkan oleh Adams jika dilihat dalam perspktif kekinian menunjukkan beberapa item yang belum disentuh dari deskripsinya mengenai studi agama padahal item tersebut sangat dibutuhkan sekarang. Adams tidak menyebutkan bagaimana reaksi orang Islam kepada sarjana Eropa-Amerika, atau partisipasi mereka di dalamnya. Pembahasan mengenai Studi Islam belum mempertimbangkan pengaruh mahasiswa Islam di dalam kelas. Dia juga tidak mendiskusikan steretipe yang massif tentang hubungan Islam dengan terorisme, kekerasan, pelecehan terhadap perempuan dan sebaainya. Dia juga tidak menyebutkan sejarah kekinian, terutama kolonialisme Eropa, moderniasasi, dan fundamentalisme. Lebih jauh lagi dia tidak merujuk pada peran media dan jurnalistik dalam ikut mempengaruhi imae tentang Islam sekarang. Dan tentu saja, fenomena terkini seperti pos-strukturalisme, kritisim konstruktivisme, feminisme, ender, dan diskursus pos-kolonial, termasuk juga kritis orientalisme sendiri.
Apapun kritikan terhadap Adams, pastinya bahwa sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan multidisiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Selama bertahun-tahu telah dikembangkan sistem pendidikan Islam yang normatif, yang bisa dijumpai di pesantren, PTAI dan lembaga pendidikan agama Islam lainnya. Pola tradisional yang dipakai dalam sistem pendidikan lama itu tidak banyak membantu ketika harus berhadapan dengan tantangan zaman yang menuntut banyak hal.
Pesan dan provokasi akademik Adams tersebut mendapat penguatan dan sekaligus menjadi inspirasi bagi lahirnya pendekatan baru dalam studi Islam. Misalnya, M. Amin Abdullah menawarkan paradigma keilmuan “interkoneksitas” untuk studi keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi. M. Amin Abdullah mengatakan, pendekatan interkoneksitas berbeda sedikit dari paradigma “integrasi” keilmuan yang seolah-olah berharap tidak akan ada lagi ketegangan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh ke dalam wilayah “historisitas-profanitas”, atau sebaliknya. Paradigma “interkoneksitas” mengasumsikan bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama yang lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.[26]






















BIBILIOGRAFI

Aholib Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, (Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001),

Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies.

Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.),

Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies.

Francis Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004),

Joseph M. Kitagawa,”Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi Agama,

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Muhammad Latif Fauzi “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam Center for Islamic Studies, ( http://cfis.uii.ac.id).

Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer ,(Surabaya: Penerbit Arkola, 1994)

Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2009),
Zakiyuddin Baidhawy, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001),







[1] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.), hlm. 29
[2] Ibid, hlm. 35

[3] Ibid, hlm.35
[4] Ibid, hlm. 37
[5] Ibid, hlm. 38

[6] Ibid, hlm. 38

[7] Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer ,(Surabaya: Penerbit Arkola, 1994),hlm. 178.

[8] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, hlm. 41.
[9] Ibid, hlm. 41

[10] Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. V, 2009), 65-66.

[11] Muhammad Latif Fauzi “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam Center for Islamic Studies, ( http://cfis.uii.ac.id).

[12] Zakiyuddin Baidhawy, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama: Sebuah Pengantar”, dalam Richard C. Martin,(ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Islam, terj. Zakiyuddin, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press, 2001), xiii-ix.

[13] Francis Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), 13-15.

[14] Muhammad Latif Fauzi “ Telaah atas Karya Charles J. Adams dalam Studi Islam”, dalam Center for Islamic Studies, ( http://cfis.uii.ac.id).


[15] Charles J. Adam, "Islamic Religiuos Tradition", dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, hlm. 49

[16] Ibid, hlm. 49-50
[17] Muhammad Latif, “Telaah atas karya Charles J. Adams”.
[18] Aholib Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, (Yogyakarta: Kanisius; Pustaka Filsafat, 2001), 95.

[19] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005), 234-239.

[20] Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 – 127

[21] Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 190

[22] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 33

[23] Joseph M. Kitagawa,”Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi Agama, 128 -129

[24] Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 158

[25] Chares J. Adams, “Foreword”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, vii – x

[26] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, vii – viii.

 
Copyright Dowi Arek b. Anget 2010.
Converted To Blogger Template by Anshul .