Senin, 27 Juni 2011

Antara Negara Islam dan Syariat Islam (Sebuah Upaya Pembongkaran Makna Universialitas)


                                                       Antara Negara Islam dan Syariat Islam
(Sebuah Upaya Pembongkaran Makna Universialitas)

Disepakati atau tidak  ketika kita berbicara tentang syariat Islam, maka hal ini selalu dikaitkan (identik) dengan Negara Islam. Kegandrungan semacam ini, sudah "membudaya" di kalangan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa untuk "menegakkan" syariat Islam haruslah dengan mendirikan "Negara Islam". Menurut hemat penulis pandangan semacam ini adalah pandangan yang kurang bijaksana (tidak untuk menyatakan salah), sebab secara umum syariat Islam bermakna keadilan dan tidak berbuat  eksploitasi. Artinya, idiologi apapun yang dipakai sebuah Negara selagi tidak bertentangan dengan Islam dan mendasarkannya pada keadilan dan tidak berbuat eksploitasi, hal ini bisa dikatakan sebagai penerapan dari syariat Islam. Oleh karenanya, untuk lebih mendalami hal ini, melalui tulisan singkat ini kita akan coba membahas hal-hal yang bersangkutan dengan ini. Mudah-mudahan dengan tulisan yang sangat jauh dari kesempurnaan ini dapat menambah wawasan kita. Amiin .

Masalah Universialitas Islam
Keberlakuan ajaran Islam untuk semua orang dan untuk seluruh dunia merupakan makna dari universialitas Islam. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian antara ajaran Islam dan kebutuhan manusia. Dalam Al-Qur'an ditegaskan bahwa ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia (Q.S.30:30). Ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an mengklaim bahwa ajaran Islam diperkenalkan sesuai dengan seluruh manusia. Sebab kita menyadari bahwa fitrah kemanusiaan merupakan sesuatu yang dimiliki seluruh manusia. Akan tetapi di sisi yang lain adanya sebuah kenyataan yang tidak dapat di hindarkan oleh manusia itu sendiri, yakni adanya perbedaan antara mereka baik perbedaan diakibatkan oleh waktu maupun  tempat. Dari kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa adanya ajaran Al-Qur'an yang bersifat universal yang berpijak pada persamaan yang dimiliki oleh manusia dan yang particular dan kondisional akibat perbedaan waktu dan tempat.[1] Hal senada juga diutarakan oleh Prof.Dr. Harun Nasution dalam bukunya "Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran". Beliau brpendapat, sebagai agama universal, Islam mengandung ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan waktu. Hal ini  disesuiakan dengan situasi, kondisi, tempat dan zaman tertentu.[2]
Terlepas dari semua itu, secara substansial ajaran Islam merupakan ajaran yang sesuai dengan segala zaman dan waktu. Tinggal bagaimana kita menyikapi tantangan-tantangan zaman, jangan sampai kita terjebak pada makna dari dzahir teks baik Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sebab yang menjadi pedoman mutlak ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits serta semangat dari keduanya.

Masalah Negara Islam
Adalah suatu pertanyaan yang menarik, ketika kita bertanya tentang Negara Islam (apakah ada negara Islam?). Sejatinya ketika pertanyaan ini muncul yang terbit dalam benak kita adalah penerapan syariat Islam. Menurut hemat penulis, "Islamic state" atau Negara Islam tidak ada dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah. Oleh karenanya, tidak ada dalam Islam perintah untuk mendirikan Negara Islam. Prof.Dr. Amin Rais berpendapat, yang lebih penting adalah selama Negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan, menciptakan masyarakat yang egalitarian. Yang jauh daripada eksploitasi manusia atas manusia atau atas kelompok, maka hal ini akan dipandang suatu Negara yang baik menurut Islam.[3]
Apakah akhirnya suatu Negara yang "mendasarkan" Islam sebagai dasar Negara jika hanya formalitas kosong semata. Contoh konkrit, di saudi Arabia, aplikasi syariat di sana sangat sempit dan sangat jauh dari idealisme Islam itu sendiri. Seperti dalam politik, mereka menerapkan system monarki yang absolut sementara kalau kita lihat sejak kholifah –kholifah yang menggantikan nabi, sistemnya bukan monarki yang absolut melainkan monarki yang menggunakan system pemilihan. Bagaimana dengan Indonesia? Selama tidak bertentangan dengan Islam dan realisasi dari sila-sila itu bukan sebagai formalitas kosong maka itu sudah cukup baik, sebab Islam sangat menekankan konsistensi antara apa yang di ucapkan dengan apa yang dikerjakan.
Di sisi lain, kita dapat melirik kembali pada sejarah ketika nabi Muhammad S.A.W mendirikan Negara yang pada saat itu diberi nama yastrib dan kemudian bersatu dengan mekkah pada hakikatnya bukanlah suatu Negara yang diberi nama (title) Negara Islam.akan tetapi pada akhir hayatnya yakni pada saat surat al- maidah ayat 3 diwahyukan, kira-kira 3 bulan kemudian nabi S.A.W wafat, sesungguhnya sudah tumbuh suatu masyarakat yang dibangun oleh dan dibawah pimpinan nabi S.A.W. sendiri. Yang tidak diberi nama khusus oleh nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai Negara, sedangkan hukumnya oleh tuhan sudah dinyatakan sempurna. Suatu hal yang menarik, di Indonesia pada zaman Syarikat Dagang Indonesia para pemimpin kita sering mengatakan"hiduplah sesuai dengan Islam, dan tidak perlu menunggu diatur oleh undang-undang Negara sebab hidup secara Islam sudah pasti tidak merugikan orang lain".[4]
Hal ini kita dapat berkesimpulan,bahwa pada hakikatnya kehidupan "ala" Islam sudah merupakan kehidupan yang sangat "ideal" dan tidak perlu lagi kita menyatakan harus mendirikan Negara Islam.  pada akhirnya saya berkeyakinan bahwa setiap Negara yang idiologinya tidak bertentangan dengan Islam dan selama masih menerapkan sebuah "keadilan"dan berpedoman kepada kemaslahatan ummat serta tidak menimbulkan eksploitasi baik individu maupun kelompok adalah sebuah Negara yang ideal (mungkin inilah makna dari rahmatan lil alamin) tidak perlu kita bersikeras untuk mendirikan Negara Islam apalagi sampai merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.




[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 213-214.
[2]Harun Nasution "Islam rasional gagasan dan pemikiran", hal 33.
[3]Tidak ada Negara Islam (surat-surat politik Nurholis Majid-Moh Room) penyunting: Laksmi pamuntjak dkk, hal. XXIV.
[4]Ibid. Hal 7-9











[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 213-214.
[2]Harun Nasution "Islam rasional gagasan dan pemikiran", hal 33.
[3]Tidak ada Negara Islam (surat-surat politik Nurholis Majid-Moh Room) penyunting: Laksmi pamuntjak dkk, hal. XXIV.
[4]Ibid. Hal 7-9












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Dowi Arek b. Anget 2010.
Converted To Blogger Template by Anshul .